SELEPAS Magrib, Bumi Pasundan yang konon lahir ketika Tuhan sedang tersenyum, pengusaha tekstil, Dede Rukmana sedang menikmati malam di Braga bersama Sri.
Duda tunggal itu merasa cocok dengan Sri Kemala, perempuan yang belum pernah menikah itu.
Perpaduan yang serasi antara seorang pengusaha yang sukses dan seorang Bankir yang ramai nasabah.
Dede Rukmana di Bandung hidup sebatang kara, ia sering ke rumah Tualang dan menginap di daerah Antapani.
Dia, Tualang dan Marissa menjadi rumpun baru dalam hidupnya.
Sri Kemala tak bisa berlama-lama di Bandung, cutinya segera berakhir lusa.
Selama di Bandung tanpa basa-basi Dede Rukmana meminang Tengku Sri Kemala.
Resepsi akan diadakan dengan nuansa melayu, berbaur dengan seniman sastra Medan dan sekitarnya.
Berita tentang resepsi Sri Kemala disambut gembira oleh komunitas sastra Medan dan Binjai.
Husein merasa terpukul dengan berita tersebut.
Dalam hati dia bergumam, “tak ada kegembiraan buatmu”.
dr Tuti pun merasa kalah bersaing dengan Sri Kemala. Dia meledek Husein, “bang, akankah kita menjadi undangan yang abadi pada setiap resepsi pernikahan sanak keluarga, teman-teman dan keluarga jauh lainnya?”
Husein membisu, tiba-tiba dia membanting gelas berisi kopi yang akan diminumnya.
“Jangan ngomong soal itu Tuti, biarkan suratan yang menjemputnya.”
“Kalau kau masih sakit hati padaku karena luka masa lalu, jangan kau balaskan dengan membanting gelas. Banting saja ragaku”, kata Tuti bangkit dari duduknya.
“Maaf, aku masih labil, luka demi luka antrian singgah di batinku, aku harap kau memahami jiwaku yang terguncang ini”, kata Husein dengan mata berlinang.
dokter Tuti memandang sayu wajah Husein.
“Ini tidak cocok buat suamiku, dia lebih cocok jadi pasien psikiatri”, kata Tuti membatin.
Sejak malam itu, Tuti tak menemui Husein lagi. Dia sarankan pada koleganya, dr Setia Negara untuk segera membawa Husein ke psikiater.
Setia Negara memahami kekecewaan dr Tuti yang berusaha membangun puing-puing kehancuran hubungan mereka dijegal adat yang kolot.
Tapi sia-sia egoisnya sudah sangat memuncak. Dan ia pun jarang bersujud, ini yang membuat Tualang tak menyukainya.
Dengan berbagai cara Tualang memisahkan hubungan Husein dengan Sri Kemala. Dia tak ingin kakak kandung terseret jauh hubungan terlarangan dengan Husein.
Tualang dan Husein seperti musuh dalam selimut.
Tualang orangnya tegas, humoris dan suka membantu siapa saja yang dikenalnya.
Sri Kemala telah tiba di Medan, Tuti menyarankan jangan dulu menemui Husein. Dia mempunyai niat tak baik padamu.
“Sri, aku menyayangimu, jangan bocor rahasia ini”, Tuti membisikan hal itu di ruang bagasi Bandara Kualanamu.
Sri berjalan lemah
Mencoba menguat semangat yang tiba-tiba meredup.
Sri Kemala malam itu tidur di rumah dr Tuti di daerah Limau Sundai, arah ke Payaroba.
Di rumah itu Sri melepas gundah-gulananya.
Di suruhnya dr Tuti menggesek biola, sementara dia membaca puisi Tan Tualang, berjudul “Pelangi Rebah Di Anak Sungai”
senja merah membisu duka
keringat darah telah mengering
melepuh janji di katil
kita baru saja mengejar pelangi
rebah di anak sungai
tiba-tiba sungai melepas sunyi
hiruk pikuk takbir jua menyejuk sukma
ini negeri kita
suka bercanda bencana
kita yang terlena lepas nama
inikah cinta yang baru kau kecupkan di keningku
kita ada di mana duka
siapa mengulur jemari
menyapa tembolok tua
musik pun terhenti di jemari pengamen
sungguh ini kubaca retak di tanganmu
aku adalah pelangi patah di hulu sungai
dan merekapun terlelap
dunia tak berdekap. (**)
Medan, 290121
Tsi Taura