HARI ini hari terakhir masa tenggang waktu berpikir berakhir bagi Tora untuk mengabulkan atau menolak permintaan keluarganya, gadis mirip Pakistan tersebut sebagai calon istrinya.
Pertemuan akan berlangsung sehabis magrib.
Sebelum ashar Tora sudah tiba di rumah datuk Hitam. Wajahnya kusut, kuyu dan tak bercahaya. Ia duduk di lantai papan dekat dengan lemari buku-buku agama, tasauf dan sufi. Tersusun rapi, tak terlihat debu melekat, padahal tok Hitam tinggal sendiri di rumah itu. Pertunangannya dengan janda bohorok batal. Janda itu meninggal dunia diserang diare. Biarpun ia seorang diri halaman rumahnya bersih. Rumahnya tercium aroma setanggi. Orang yang duduk di rumahnya merasa betah bahkan banyak yang nginap di situ.
Ia mengajak Tora shalat ashar berjemaah. Selesai shalat mereka ngobrol hingga menjelang magrib. Ngobrol seputar acara yang akan digelar sehabis magrib di rumah ayah Tora.
“Bagaimana Tora? Sudah bulatkah pikiranmu untuk menerima anak tuan kebun itu?”, tanya tok Hitam yang menyender di dinding dekat pintu kamar tok Hitam.
Tora tak langsung menjawab pertanyaan tok Hitam karena saat itu ia yang telah melupakan Zahra Lestari, Tora menjalin hubungan dengan mantan stafnya, Tengku Sri Maharani. Mereka telah mengikat janji akan membawa cinta mereka ke pelaminan.
“Tora, hentikan lamunanmu, jawab pertanyaan atok, apakah pikiranmu telah bulat memilih anak tuan kebon itu”, kata tok Hitam dengan suara yang agak keras.
Tora tergagap, terjaga dari lamunan yang panjang.
“Maaf tok, patik lagi galau, kejap tok”, kata Tora tersenyum kecut.
Ia ke dapur memasuh mukanya, pikirannya kembali segar. Ia kembali ke depan, duduk di tempat semula.
Ia pun menutur lembut, “patik telah terikat janji dengan anak calon istri atok, almh Balqis. Anaknya Sri Maharani, kami telah mengikat janji ke pelaminan”, kata Tora.
“Badanmu boleh lelah, matamu boleh basah tapi hatimu jangan lemah, jiwamu jangan kalah. Bangkitlah kembali, kembali gagah, semuanya akan kembali indah. Jangan ragu mengambil keputusan, engkau harus mendahulukan kebahagiaan orang tuamu”, tok Hitam menasihati Tora.
Tora menduduk, meresapi nasihat gurunya.
Tapi ia tak menyerah begitu saja, ia menjawab dengan tenang, “kebajikan itu bukan sesuatu yang dipaksakan. Ia baru bermakna jika dilakukan dengan tulus ikhlas guru”, kata Tora.
“Terhadap keinginan orang tua harus engkau lebih utamakan dari janji pada perempuan lain. Mana yang lebih mengharukan kalbumu, air mata orang tuamu daripada air mata kekasihmu?”, tanya tok Hitam dengan lembut dan menusuk.
“Simalama kama tok”, kata Tora dengan lugas.
Tok Hitam tergelak dan kelihatan kharismanya sebagai mantan pemimpin bajak laut di Selat Malaka. Gigi depannya masih tersusun rapi. Senyumnya bisa meruntuhkan pertahanan perempuan. Suaranya bagai perindu. Mukanya bersih dan bercahaya wuduk.
Dan ia melanjutnya kata-katanya, “tak ada simalakama yang bisa atok pahami dalam perjalanan hidupmu ini. Mana yang pertama sekali memberimu cinta kasih dalam kehidupanmu, orang tuamu atau kekasihmu, Sri Maharani?”, tanya tok hitam menohok hulu hati Tora.
Tora tersudut dan matanya berlinang.
“Ya tok, aku harus memilih, memilih keinginan luhur orang tua patik”, kata Tora.
“Jika demikian, ayo kita berkemas ke rumah orang tuamu, kita magrib di sana.
Karpet besar berwarna merah sudah terbentang di ruang tamu. Ayah Tora masih was-was apa penjelasan Tora nanti. Akankah ia mempermalukan orang tuanya? Atau malam inilah Tora menunjukkan baktinya pada kedua orang tuanya. Kegelisahan itu kelihatan oleh tok Hitam. Ia mendekati ayah Tora dan berkata, “mata air yang sudah jernih jangan dikorek-korek lagi, nanti malah menjadi keruh.”
“Maafkan patik datuk, datukkan tahu bagaimana kerasnya anak patik itu, wajar saja patik gelisah”, kata ayah Tora setengah berbisik.
Tok Hitam tergelak, “Tora itu keras-keras kerak, kena air lembut juga. Dia jangan dipaksa, jangan dikerasi, sampaikanlah sesuatu padanya dengan lemah lembut, dia akan lebih lembut dari sutera.
Acara pun di mulai dengan pembacaan doa. Teman Tora di rantau pada hadir semuanya, Mat Kilau, Hang Mejin Tan Tualang kelihatan ceria. Dan tanda mereka bersaudara, perempuan calon istri Tora hadir berkebaya. Manis sekali, ia seperti memiliki aura yang tak semua perempuan memilikinya. Tanpa sungkan, Tora menyongsongnya di muka pintu. Hadir juga kedua calon mertuanya dan adik-adiknya.
Perempuan itu duduk di sisi Tora, seakan mereka sudah saling mengenal lama.
Kedua belah pihak orang tua berbahagia anak mereka sudah menunjukkan keakraban. Mereka seakan mendapat durian runtuh.
Setelah acara doa, Tora ditanya tok Hitam yang malam itu bertindak sebagai juru bicara, “Bagaimana pendapat engkau tentang calon istrimu ini?”
Tora menjawab, sebaiknya jika berkenan atok tanya dulu pada putri yang di sampingku ini, Marissa.
Tok Hitam menuruti saran Tora, “Ananda, apakah ananda ada merasa dipaksa menjatuhkan pilihan calon suamimu adalah tengku Tora bin tengku Mohammad Idris?”
Marissa tersenyum malu, ia berkata jua dengan lembut, “patik telah datang memenuhi undangan tuan rumah dengan senyuman, atok rasanya bisa menterjemahkan hal tersebut”, kata Marisa sambil melirik calon suaminya. Mereka bertatapan dan saling melempar senyuman.
“Tora, sekarang giliranmu”, kata tok Hitam.
“Patik telah menyongsong Marissa di depan pintu, tak perlu patik mengajari limau berduri.
Hadirin bertepuk tangan seakan turut berbahagia karena tak lama lagi Tora tak lagi bergelar si bujang lapuk. (***)
Medan, 161020,
tsi taura.