AYAH Tora mendapat kiat bagaimana membuka pertemuan petang itu.
Dengan senyum dan wajah kuyu ia menutur kata lembut, “Tora apa kesanmu nak kunjungan kita tadi?”
Tora menatap satu persatu wajah yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Dan ia pun menjawab, “bersilaturahim itu menambah umur panjang, kata guru patik, ayah.”
Tok Hitam mengangguk. Emaknya tersenyum. Si ayah gusar.
“Maksud ayah bagaimana sambutan mereka?”
“Wajar saja, menyambut keluarga dekat yang sudah lama tak bertemu”, kata Tora apa adanya. Dia tak mau menilai tuan rumah dan anak-anaknya karena takut keliru, kan Tora baru itulah pertama kali bertemu.
Tok Hitam mendehem, isyarat ijinkan dia yang bicara. Ayah Tora memahami maksud tok Hitam.
“Tora, apakah engkau tak hendak membahagiakan orang tuamu? Mereka ingin kau segera menikah.”
“Maksud atok?”
“Bahagiakanlah mereka, umur mereka telah senja.
“Maksud atok kawin jodoh lagi? Setelah gagal berkali-kali dijodohkan, kini dijodohkan lagi?”
“Iya, dengan perempuan yang mirip gadis Pakistan itu, yang telah kau lihat, telah kau selisik kepribadiannya”, kata datok Hitam dengan tegas, lugas dan tak bertele-tele.
Tora terdiam sejenak, menimbang-nimbang apa yang diucapkan datok Hitam, guru yang sangat dihormatinya.
“Ayah, emak dan guruku, pikir itu pelita hati, ijinkan patik berpikir seminggu”, kata Tora dengan lugas pula.
Permohonan Tora diterima dengan senang hati oleh orang tuanya dan datok Hitam. Pertemuan pun bubar dengan langkah berat Tora keluar rumah, nongkrong di kedai kopi bersama datok Hitam.
Berbatang-puntung rokok yang diisap Tora menumpuk di asbak kaleng susu. Ia dan tok Hitam perokok berat.
Tora menerawang jauh, singgah pada bayangan Zahra Lestari yang sudah hampir tiga tahun tak terdengar kabar beritanya.
Cerita tentang kepergian Zahra Sofi sehari setelah ia diwisuda sangat memukul batinnya. Ia pergi bersama ayahnya entah ke dunia mana. Ia sangat kecewa sikap kekasihnya itu. Dia sangat mencintai perempuan tersebut.
Lamunannya terhenti ketika suara tok Hitam berdesing di telinganya, “hidup ini ditinggalkan atau meninggalkan. Kekasih yang sudah pergi tak usah dikenang lagi, mungkin sudah menjadi hak orang lain.”
Tora menatap lemah gurunya itu, dengan senyum kecut ia menutur, “cinta akan datang bila tiba waktunya walau ia hilang tak berjejak”, kata Tora setengah berbisik.”
Tok Hitam tergelak lebar.
“Jadi engkau hendak menumpahkan air di tempayan karena guruh di langit?”, tanya tok Hitam.
“Jika takdir patik tertulis begitu”, kata Tora dengan wajah tertunduk.
Wak Limah penjual kopi tempat mereka ngobrol nguping dialog tersebut.
“Malang juga nasib si Tora ini. Burung dara di sangkar terbang entah ke mana. Tapi iya pulak, sejauh-jauh bangau terbang kembali ke kubangan juga”, kata Wak Limah pada dirinya sendiri.
“Tora, jika perempuan itu mencintaimu ke lautan hati, pasti ia pamit sebelum pergi. Menurut atok, ia tak beradat. Apapun yang terjadi mestinya ia ceritakan padamu”, kata tok Hitam dengan suara tinggi.
Ucapan tok Hitam meresap di benaknya. Dengan suara lemah ia mengajak tok Hitam pulang. Dengan kenderaan roda dua dia menancap gas di jalan yang penuh debu. Menikung seperti pembalap di kiri kanan jalan penuh tanaman tembakau. Bangsal itu kenangan yang tak terhapuskan Tora. Bangsal yang reyot, serewot pikirannya kini. (***)
Binjai, 151020,
tsi taura.