RUMAH panggung tak jauh dari bangsal tembakau, di situlah Zahra Lestari bermukim. Halaman yang bersih dihiasi kembang-kembang kampung sedang mekar. Hanya dua atau tiga rumah yang kelihatan di situ.
Pohon-pohon melati, pohon pala, cermai, rumah meneduh suasana lingkungan.
“Kanda, cukup sampai di sini kita berpisah dulu, menunggu takdir selanjutnya”, kata Zahra Lestari bergegas menaiki tangga kecil, mendorong pintu yang tak terkunci.
Zahra sempat melambaikan tangannya dengan wajah yang muram.
Tora memahami rusuhnya hati kekasihnya itu.
Tora dan pakciknya berbalik kanan menuju tepian mandi jejaka.
Berjam-jam Tora berendam, hingga muncul suruhan ayahnya untuk segera pulang.
“Seperti anak kecil yang main layang-layang di petang menjelang senja saja, hambe dibuat ayah, pakcik”, kata Tora merepet protes sikap ayahnya yang mengekang dirinya. Semua harus di bawah pengawasannya.
“Engkau calon pemimpin Tora, berlatihlah bersabar, jangan kau warisi sifat arogansi ayahmu”, si pakcik menyiram setawar sedingin pada ponakan yang sangat disayanginya itu.
Tora menekur, terbayang segala kekejaman ayah pada emaknya. Tapi emaknya tercipta sebagai perempuan yang sabar. Dengan kasih sayang dan kelembutan ia mendidik Tora.
Pakcik Tora sudah menghidupkan kenderaannya, membuyar bayangan kepedihan yang sedang menari di depannya.
Tora dengan langkah cepat melompat duduk di kenderaan tersebut.
Pakciknya melaju, debu-debu berhamburan. Sekejap saja mereka telah tiba di depan rumah ayah Tora.
Di muka pintu mereka telah disuguhi kekesalan sang ayah, “kemana saja kalian?, tak menghormati tamu yang datang dari negeri jauh.”
Tora dan pakciknya nyelonong saja masuk menuju dapur. Emak Tora memasak makan kesukaan putranya.
Tora dan pakciknya menyantap makanan masakan emaknya. Pepes ikan peda, gulai rebung, panggang jurung dan lalapan.
Siap makan Tora dan pakciknya tergelak.
Emaknya heran, kenapa kalian tergelak?”
Saat Tora hendak menjawab, muncul ayahnya dengan mata saga.
Tora dan pakciknya tenang saja.
“Siap maghrib kita kumpul makan bersama dengan tamu kita dari kepulauan itu.”
Tora yang degil menjawab dengan penggalan lagu dengan suara sumbang, “jatuh cinta beragam rasanya…”
Siayah paham Tora mulai menunjukkan karakternya, tak akan mau menuruti sesuatu yang dipaksakan padanya.
Sebelum acara malam dimulai, Tora masuk ke kamar emaknya.
Kaget Tora melihat penampilan emaknya berdandan sederhana, bergaun melayu. Tak satupun istri muda ayahnya yang bisa menandingi kejelitaan emaknya.
“Oh, mata setan bermain di pandangan ayahnya.”
“Emak, aku hendak dijodohkan ya dengan salah seorang putri kepulauan itu ya?”, tanya Tora duduk di atas katil.
Emaknya membalikkan tubuh mendekati putranya.
“Emak tak tahu apa rencana ayahmu, nak. Kita lihat sajalah nanti. Tunjukkan mukamu yang jernih, hormati tamu kita. Kelak keputusan hanya Allah yang tahu”, kata emaknya.
Tiba-tiba ayah Tora masuk ke kamar tersebut, “ayok, semua sudah kumpul. Tora dan emaknya bergegas keluar kamar.
Tora memilih duduk bersila di samping pakciknya, tengku Syamsuddin.
Atok Tora menjadi juru bicara malam itu. Tanpa basa-basi, hanya beberapa pantun yang terlontar:
“tak pernah kami tuan kami undang
undangan malam ini tentu ada maksud di hati
wahai tuan dari kepulauan
tak cukup kata hendak diucapkan
biasa pinangan di rumah perempuan
kali ini adat kita abaikan
bersebab jauh kita berhubungan
ijinkan kami meminang putri tuan
putera kami belum ada ikatan
semoga harapan kami dikabulkan”
Pantun itu berbalas dari pihak perempuan yang intinya menerima pinangan. Pra pinangan, akan ada pinangan adat melayu setelah acara ini.
“Untuk mempersingkat waktu kami mohon ananda Tora dan nanda Syarifah Rahmi saling berjabat tangan dan duduk berdampingan”, kata atok Tora.
Tempat duduk Tora bagai bara api, hendak ia berlari sejauh-jauhnya.
Dia tak menampik kecantikan Syarifah Rahmi.
Mereka pun bersalaman mengumbar senyum kecut.
“Oh, adat yang kolot kenapa mesti bertahan di alam milinial ini?”, Tora bergumam.
Berita pertunangan Tora malam itu sampai juga ke telinga Zahra Lestari. Hujan pun turun dengan lebatnya. Zahra Lestari pun tahu, Tora dipaksa bertunangan. Ia menunggu penjelasan Tora di musim buah. (***)
Binjai, 061020,
tsi taura.