Cerita Mini (Cermin), (03) “Eksekutor Dari Tanah Melayu’

oleh -2,719 views

PERTEMUAN Tora dengan gadis satu sekolah di SMP itu di simpang tepian putri sei Mencirim suatu hal yang tidak mereka duga sama sekali.
Mereka saling berpandangan dengan bibir terkatup, lidah yang kelu. Pakcik Tora tengku Syamsuddin memecah kebisuan, “kenapa kalian saling berpandangan saja?”

Perempuan itu tersenyum dan ingin berlalu begitu saja. Dengan cepat Tora mencekal tangan perempuan itu. Tora menutur lembut, “lupakah dinda pada kanda?”

Perempuan itu menatap tajam Tora dan berkata, “dinda tak pernah lupa pada kanda. Dan tak mungkin terlupakan hinaan, cakap yang kasar ayahnda kanda. Sudah lah kanda, lupakan saja dinda yang hina dina ini.”

Tora terperangah, dia tak pernah tahu ayahnya berlaku kasar pada perempuan ini, perempuan suci dan mulia hatinya.
Perempuan itu bernama Zahra Lestari, anak petani miskin, penjaga surau.

“Dinda, sungguh kanda tak mengetahui peristiwa itu, maafkan ayah kanda dan pahamilah, cinta kanda pada dinda tak pernah bergeser sejengkalpun.

Zahra Sopi mempercepat langkahnya kembali ke pondok kecil di pinggiran bangsal tembakau.
Pakcik Tora menyuruh Tora mengikuti kemana Zahra berhenti.
Pakciknya itu sangat dekat Tora. Dia mantan Koramil yang dikaryakan sebagai lurah daerah basah Jakarta Pusat. Mereka bagai dua sahabat.

Tora dengan berlari mampu berdampingan Zahra berjalan menuju rumah. Membujuk dengan kasih sayang bahwa ia hingga detik ini, ia masih mengingat kisah kasih mereka di SMA dulu.
Zahra Sofi menyadari bahwa Tora berbeda dengan ayahnya, kasar dan tempramental, tak menunjukkan keturunan bangsawan melayu,

Keakraban mereka menumbuhkan benih-benih cinta.
Dan tragedi itu terjadi saat Zahra Sofi ikut mengantar Tora berangkat ke Jakarta mengikuti pendidikan Jaksa.

Saat pesawat tinggal landas, ayah Tora dengan muka merah saga, berkata kasar, “tolong engkau jauhi Tora, dia telah kami jodohkan dengan keluarga bangsawan juga. Bukan seperti kastamu.”
Zahra seperti digodam palu kepalanya. Air matanya membanjir. Dia hanya mengangguk.

Emak Tora memeluk Zahra Sofi dengan penuh iba, “sabar ya anakku”, kata Emak Tora sambil mengusap-usap rambut Zahra Lestari.
Ibu Tora yang tak pernah marah pada suaminya, walaupun ia dimadu berkali-kali, tapi saat itu ia meledakkan marahnya, “jangan kasari dia, nanti karma datang. Hidup ini seperti gema, apa yang kita teriakan dia akan berbalik lagi tanpa sepatahpun hilang.
Ayah Tora mengumbar emosi yang tak terkontrol. Ia berkata seperti halilintar menggelegar, “kau bela-belalah anak sundal ini,”

Rubuh pertahanan kesabaran Zahra Lestari. Ia hendak berlari jauh, telinganya terasa mau pecah dan ia menutur dengan terisak-isak, “terima kasih pacik atas ssgela kehinaan yang pakcik muntahkan padaku”, kata Zahra.
Tiba-tiba ia nanar, limbung. Si ayah Tora berlalu begitu saja.
Petugas parkir bandara Polonia membantu ibu Tora dan Zahra Sofi ke Binjai, kota rambutan itu.

Zahra Lestari menghentikan langkahnya, dengan lembut dia menutur, “kanda pulanglah dulu, esok lusa jika takdir mengijinkan kita bolehlah bertemu lagi. Sampaikan salam dinda pada emak, perempuan calon penghuni surga itu.”

“Dinda, baiklah, esok kanda mulai bertugas di Belawan, ijinkan kanda mengantar dinda hingga ke depan pintu.
Zahra melunak dan ia pun mengangguk. (*)

Binjai, 051020,

tsi taura.