MATAHARI belum setinggi penggalah, Tualang, Sri dan Pengusaha Tekstil teman akrab Tualang sudah tiba di kota Bohorok. Makan siang di salah satu rumah makan milik orang melayu. Pengunjung sepi, Tualanglah orang pertama yang singgah ke rumah makan itu.
Terhidang gulai asam lemeduk campur terong wangi mengguncang selera.
Sambal belacan daun pepaya muda, jengkol muda. Nasi baru panas-panas kuku menambah nikmat selera, Tualang, Pengusaha Tekstil dan Sri Kemaya.
Ikan cencen goreng panas, ikan bakar anak jurung, dua baskom nasi warung wak Udin Ludes.
Melihat hal tersebut, wak Udin membatin, “luar biasa laparnya orang kota ini.”
“Omong-omong hendak kemana tujuan ananda ini?”, Wak Udin beramah kata.
“Pakcik, kami hendak ke rumah Datuk Panglima Mejin…”, kata Tualang.
“Telat kalian datang, kemarin Tok Mejin dan bininya pergi Umroh….”, dialah satu-satunya mantan bajak laut di Bohorok ini yang benar-benar taubat, sebelum senja menyapanya”, kata Wak Udin lagi.
“Terima kasih pakcik informasinya”, kata Tualang pada pakcik Udin yang lolos dari Revelusi Sosial 1946.
Tualang yang gila menggali sejarah melayu menambah porsi kopinya, mengorek pakcik Udin tentang ingatannya pembantaian etnis melayu itu.
Sri dan dan pengusaha tekstil hanya mendengar dengan mata yang berat.
Pakcik Udin baru ingat kembali perempuan yang bersama Tualang ini anak dari si Umi Kalsum: “Kalau tak salah, engkau ni anak Umi Kalsum?”
Sri tersenyum, “iyahlah, pakcikkan suka kali sama ibu kan?”, kata Sri meledek pakcik Udin.
Gelakpun pecah di rumah makan yang sunyi itu.
“Kami adik kakak dengan Sri Kemala”, kata Tualang. Dan ia meneruskan, “ibu Umi Kalsum adalah ibu angkat Sri.”
Tak terasa waktu ashar pun tiba. Pakcik Udin menawarkan nginap di rumahnya yang besar. Dulu, Sri digendong-gendongnya waktu balita. Istrinya hilang di hutan bunian Bohorok.
“Lain kali kami nginap di sini ya pakcik”, kata Sri Kemala dengan mata genitnya.
Pakcik Udin tak mau dibayar makanan yang dimakan Tantualang dan rombongan kecilnnya.
“Tak tega patik makan uang si Sri.
Emaknya sangat baik dengan tetangga, suka menolong orang yang kesusahan.”
Mereka kembali ke Medan dan langsung ke Bandara Kualanamu, selanjutnya mereka akan ke Bandung.
Husein bersedih hati Sri dibawa adiknya ke Bandung. Dokter Tuti menghiburnya, “ada masa datang, ada masa pulang.
Hidup ini ditinggalkan atau meninggalkan.”
Husein memahami kata-kata bijak Tuti.
Dengan bergandeng mesra, mereka meninggalkan Bandara Kualanamu.
“Cinta adalah ketika kau menolaknya dan dia mengganggu sunyimu”, dr Setia Negara berkata tanpa sengaja menujukan kalimat itu buat Tuti dan Husein. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya yang santun. (**)
Medan, 270121
tsi taura