25 September 1997
Pagi aku sudah sampai di Medan. Aku janji ketemu Ti besoknya. Sama seperti meninggalkan Medan dulu, aku juga kembali dengan sebuah ransel. Bedanya sekarang aku sudah punya uang dalam tabungan sebagai modal menikahi Ti.
Karena tidak ada satupun yang perlu kutemui, aku langsung berangkat ke Raja Berneh. Aku mendaki puncak Sibayak sendiri. Aku benar-benar bisa menikmatinya. Walau seluruh pemandangan diliputi kabut asap, tetapi bagiku semua jadi indah sekarang. Aku seakan merasakan duduk berdampingan dengan Ti. Kalau dulu aku tidak berani menyentuh Ti, sekarang aku biarkan khayalku bertindak jauh.
Aku membayangkan merangkul Ti erat. Duh, bahagianya bersamamu Ti. Aku merasa sangat berharga sekarang. Aku seakan tak sabar untuk bertemu Ti. Dari teleponnya aku tahu dia berangkat naik pesawat Garuda Flight 152 ke Medan. Diperkirakan Air Bus A 300 itu akan sampai di Medan pukul 14.00. Ti mengatakan tidak usah dijemput. Dia akan datang ke tempat kosnya dulu dan bertemu dengan ibu kos. Aku pun merasa tidak perlu buru-buru kembali ke Medan.
Menjelang siang, 26 September 1997, aku sudah naik bus dari simpang Doulu. Aku melihat ada pesawat terbang melintas di udara. Itu pasti Ti. Betapa tidak sabarnya aku untuk menemui Ti. Menjelang Buah Nabar, aku melihat kesibukan orang yang luar biasa. Aku kembali teringat waktu kejadian di Polonia dulu. Hatiku makin tidak enak. Bus berhenti di Buah Nabar. Aku turun. Betul saja. Ada pesawat jatuh pukul 13.34 di Buah Nabar. Garuda. ”Itu pasti Ti,” kataku dalam hati.
Baca juga: http://www.gapuranews.com/cepren-jatuh-karya-jaya-arjuna-2/
Sama seperti sepuluh tahun lalu. Aku bergegas ke lokasi jatuhnya pesawat. Sekarang aku sangat berkepentingan mengenali wajah korban. Bagai orang gila aku memperhatikan wajah korban satu persatu. Karena benturan atau karena berhenti tiba-tiba, banyak korban yang mengalami kerusakan parah pada bahagian lehernya.
Akhirnya aku menemukan jasad Ti.. Di dadanya masih melekat badge wartawannya. Setelah memastikan itu Ti, aku seakan merasa kosong. Orang yang satu-satunya kumiliki di dunia telah pergi. Orang yang membuat aku merasa perlu hidup telah tiada. Yang lebih menyakitkan dan membuat aku merasa bersalah adalah karena Ti naik pesawat ke Medan untuk menemuiku.
Kecelakaan itu disebut-sebut disebabkan kabut asap, dan aku termasuk orang yang selama ini jadi pelaku terjadinya kabut asap. Semua surat kabar memuat berita jatuhnya pesawat Garuda di Buah Nabar. Dua ratus tiga puluh empat orang penumpang pesawat itu meninggal semua. Aku tidak peduli lagi.
Lama aku tidak menyadari situasi sekelilingku. Sewaktu tersadar, aku telah berada di sebuah rumah di Padang Bulan. Rupanya ada teman kuliahku yang masih mengenali. Dia ikut membantu mengevakuasi korban pesawat di Buah Nabar. Dia membawaku ke rumahnya. Dia sudah berkeluarga. Dia juga tidak tahu apa yang membuatku seperti orang kehilangan akal. Untung dia menyelamatkan satu satunya ransel yang menyimpan seluruh hartaku.
Secara bertahap kesehatanku mulai pulih. Aku kembali jadi orang aneh di mata orang lain. Cerita temanku mengenai masa kuliah tidak lagi menarik bagiku. Dia juga tahu bahwa aku tidak pernah memegang ijazah sarjanaku. Waktu dia menawarkan untuk mengurusnya, aku tidak memberi tanggapan.
Aku lalu mencari sebuah kios kecil untuk berjualan. Kios yang mirip gerobak itu juga aku gunakan untuk tempat tinggalku. Aku tidak peduli dengan jualanku. Tidak seorang pun tahu alasan aku berjualan dan memilih lokasi di situ. Mereka juga tidak tahu mengapa setiap ada pesawat yang akan naik atau mendarat mulutku selalu komat-kamit.
Pengalamanku terlibat secara langsung pada dua kali peristiwa jatuhnya pesawat terbang membuat aku merasa perlu berdoa untuk keselamatan semua pesawat terbang dan penumpangnya. Bagiku berdoa untuk keselamatan pesawat terbang lebih berharga dari melayani pembeli. Uang kembali menjadi benda tidak berguna bagiku.
Sebagai orang yang dikenal bertabiat aneh, tentu saja tidak ada yang mau peduli denganku. Bisa saja aku menutup kiosku berhari-hari hanya untuk mendaki Sibayak, atau ke Buah Nabar. Tidak ada satupun yang merasa kehilangan.
5 September 2005.
Entah mengapa aku tidak merasa perlu membuka kios. Dengan pakaian yang sedikit rapi, aku jalan ke Sumber Nongko di Jalan Jamin Ginting untuk sarapan. Aku memesan bakso yang jadi kegemaran Ti.
Aku membeli sebuah koran yang selama ini tidak pernah jadi kebiasaanku. Aku membacanya sampai habis. Iklannya pun bahkan aku baca. Beritanya hanya sekitar ketidakprofesionalan eksekutif dan legislatif mengelola anggaran pemerintahan. Mereka seakan paling membela kepentingan rakyat. Padahal rakyat juga tahu mereka itu lebih mementingkan kesejahteraan dirinya.
Selesai sarapan, aku kembali ke kiosku menyusuri Jalan Jamin Ginting. Selama perjalananan aku mendengar beberapa kali pesawat turun naik. Sebagaimana kebiasaan, aku selalu menggumamkan doa untuk keselamatan mereka.
Pukul 09.40 pesawat Boeing 737-230 Mandala Flight 091 tujuan Jakarta memacu landasan Polonia. Pesawat itu tidak pernah bisa naik. Kata orang kelebihan beban. Di ujung landasan pesawat itu patah dan terhempas ke bumi. Dari 117 penumpang, hanya delapan belas yang selamat. Kata orang lagi, ada tiga pejabat penting Sumatera Utara yang ikut jadi korban.
Kematian bukan hanya merenggut penumpangnya. Masyarakat yang lalu lalang dan tinggal di jalan Jamin Ginting juga ada yang ikut tewas. Sebagian besar mereka terbakar dan hampir tidak bisa dikenali. Masing-masing keluarga sudah melaporkan anggota keluarga mereka yang hilang. Pernyataan resmi mencantumkan 44 korban di darat yang meninggal akibat pesawat jatuh itu.
Aku tahu pasti bahwa korban di darat itu empat puluh lima orang. Tentu saja mereka itu tidak pernah tahu atau mau tahu aku berada di mana saat ini, karena memang dari dulu tidak pernah ada yang merasa kehilangan. (Selesai/***)