Oleh Tatan Daniel
PADA sebuah malam ketika saya masih di Bohorok, Tengku Ryo menelepon dari Jakarta: “Saya senang sekali jika Bapak berkenan menyampaikan pengantar untuk konser musik saya dan kawan-kawan..”
Diundang menjadi bagian dari konser seorang musisi muda Melayu, sahabat yang bertahun-tahun saya kenal spiritnya memperjuangkan berbagai hal tentang ke-Melayu-an, dan telah bermain musik di berbagai tempat: Italia, Prancis, Turki, Cina, Bosnia, Malaysia,dan terakhir di Amerika Serikat (New York) itu, tentulah tak patut saya menampiknya, dan menjadi kehormatan bagi saya.
Maka, dalam penerbangan dari Kuala Namu ke Halim, diantara suara deru mesin pesawat, lalu lalang pramugari yang cantik, sambil memandang hamparan awan, saya membetot pikiran, menuliskan pengantar konser, yang kemudian saya bacakan kemarin, Minggu malam, 28 Juli 2019, di tempat teduh yang mengingatkan sejarah hidup seorang maesenas dakhsyat Indonesia, Usmar Ismail Hall, di Rasuna Said. Sebuah pengantar yang sederhana:
“Amir Hamzah, penyair yang mati dibunuh itu, pernah menulis puisi:
Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus
Dan sepenggal sunyi, adalah, bunyi jua. Kita bisa mendengarnya ketika malam turun bersama halimun. Sunyi yang menjadi ruang lega, untuk merenungkan pelbagai rupa.
Tapi sunyi pun, sekerat peristiwa, sekerat waktu itu, ketika kita khusuk memandang ke langit luas terbentang, sesungguhnya adalah orkestrasi bunyi, gemuruh yang abadi. Deru milyaran bintang, dan galaksi yang tak henti. Bergerak dalam komposisi. Bernyanyi dalam harmoni alam semesta.
Malam ini, sekelumit komposisi alam semesta itu akan mengisi ruang ini. Sunyi dan bunyi, tapi yang datang berpendar dari relung hati, dari semesta jiwa, dari jagat alit sukma manusia. Ia pun menjadi puisi.
Puisi bunyi tentang cinta dan kasih sayang, kepada Tuhan Yang Maha, manusia, dan alam raya.
Tengku Ryo, komponis muda Melayu, dan kawan-kawan, dengan segenap virtuoso mereka menafsirkan keindahan bunyi sebagai perayaan, pemuliaan citarasa manusiawi, tentang cinta.
Menafsirkan azan senja, yang lamat-lamat dilantunkan seorang muazin dari sebuah surau tua di ujung kampung, doa yang sayup mengapung di antara derai angin, padang rumput, dan gelombang awan, Tuhan yang terasa jauh tapi juga amat dekat, tempat mengeluh dengan segala harap, ninabobo ibu yang menidurkan anaknya di antara malam kemarau dan berhujan, menghantarkan ode dan himne tentang ribuan pulau permai dengan nyiur yang melambai, daun-daun dan ranting gugur berderai, deru lautan, negeri para ikan dan lokan, negeri elok tempat segala rindu ditumpahkan, dan kelebat kenangan pada kampung, pada sebuah negeri ‘tanjung katung’, yang bersemayam dalam ingatan.
Rangkaian keindahan sunyi, dan bunyi, yang akan membuat seseorang menangis tersedu. Karena bahagia. Bahwa hidup amatlah kaya. Dan cinta menautkan semuanya.
Maka, tatkala bunyi sudah berdenting, kata pun tak lagi cukup berarti!”
Saya tak paham benar, apakah narasi puitik itu cukup sepadan untuk menyampaikan pesan dari keindahan komposisi bunyi yang disajikan, dengan tema besar cinta: Terhadap Tuhan dan ketuhanan, sesama manusia, dan tanah air, Indonesia, oleh Tengku Ryo (biola), Bekti Sudiro (bass), Andi Gomez Setiawan (piano), dan Ade Fauzi (gendang Melayu).
Begitulah. Usai menyampaikan pengantar itu, saya tak bisa menahan larut, menyimak sayatan solo biola Ryo, mengawali konser dengan komposisi Melodie, yang bernuansa ketuhanan, karya Christoph Williblad Gluck (1762) yang dikenal sebagai satu melodi terindah dari seluruh musik opera yang ada.
Dan violis itu memainkannya dengan interpretasi seorang musisi yang berakar budaya Indonesia. Berlanjut dengan nomor klasik karya komposer Perancis, Jules Massenet, Meditation from Thais, disusul dengan lagu legen Bimbo, Tuhan, yang liriknya dipetik dari puisi penyair Taufik Ismail itu.
Pada bagian kedua, cinta dan kegembiraan dimainkan dengan penghayatan penuh, diwakili oleh komposisi pendek yang amat romantis karya Edwar Elgar (1888), Salute d’Amor, disusul lagu ciptaan Dahlia Kasim (penyanyi dan komposer Melayu di Sumatera Utara), Lautan Bahagia, yang dilantunkan oleh Tengku Shafiq.
Dimainkan pula nomor jazz populer What A Wonderful World, yang dilantunkan dengan bersemangat harapan oleh Gemala, dan ‘lullaby’ legen karya Said Efendi, Timang-Timang Anakku Sayang, dalam suasana Melayu yang karib. Bagian ini dilengkapi dengan komposisi yabg diciptakan oleh Tengku Ryo, untuk dimainkan dengan piano dan gendang Melayu, Joget Ku Cik Serdang, yang ia dedikasikan untuk Tuanku Luckman Sinar Basarshah, Sultan Serdang VIII. Sebuah karya musik yang indah.
Tanjung Katung, sebuah lagu tradisional Melayu, dimainkan pada bagian ketiga konser, dengan menghadirkan kombinasi antara ritme joget Melayu dan melodi tango, yang mengingatkan audiens pada lagu aslinya, El Choclo. Sayatan biola dan denting piano yang, berlagu riang dengan tabuhan gendang Ade Fauzi, tak ayal mengajak kaki bergerak menari. Himne Indonesia Pusaka, dan Rayuan Pulau Kelapa karya Ismail Marzuki mengisi bagian ketiga, yang menguarkan pujian dan rasa hormat pada tanah air. Ditutup dengan Tanah Airku, karya Ibu Sud, yang kemudian dinyanyikan bersama oleh seluruh audiens, menjadi paduan suara yang mengharukan.
Saya mengenal Tengku Ryo ketika menghadiri konser perayaan 100 Tahun Amir Hamzah, di Bandung, hampir sepuluh tahun yang lalu. Dan amat terkesan dengan penampilannya ketika itu. Santun, cerdas, tapi bersahaja. Dan sejak itu, saya pun kerap berbincang dengan lelaki asal Serdang yang energik dengan pikiran kreatifnya yang tak henti bergerak, berkelindan ‘liar’ ini. Dalam beberapa hal terasa revolusioner, membuat saya kadang-kadang tercengang, takjub, menyimak kisah-kisah, rencana kecil dan besarnya, jalan pikiran, dan jalan hidupnya.
Pernah, pada suatu malam, di bulan Ramadhan, di Anjungan Sumatera Utara, beberapa tahun lalu, kami berbincang dalam suasana yang, bagi saya sangat personal, dan sangat emosional. Perbincangan berjam-jam, sejak berbuka puasa hingga kami selesaikan saat subuh, lepas sahur berdua di sebuah warung di sekitar Terminal Pinang Ranti, di luar TMII. Dan saya tak pernah bisa melupakan suasana itu.
Tengku Ryo menguasai beberapa alat musik, salah satunya gitar, yang hanya beberapa bulan saja sudah mampu ia mainkan dengan piawai. Tapi ia juga pintar menari. Kemana pun lelaki rendah hati ini bermain, selalu tak abai mengenakan pakaian Melayu, dengan songket tersampir indah membalut tubuh, dan penutup kepala yang khas.
Tahun 2017 lalu, di Couture Fashion Week, di New York ia tampil solo memainkan komposisi karyanya, Zapin Songket Nusantara, dengan mengenakan busana Melayu lengkap.
Ryo, sudah merilis beberapa album, sebagian direkam di Kuala Lumpur. Albumnya antara lain, “Kecik” (album pertama), “Spirit”, “Tribute to Tan Sri P Ramlee”, “Salute to Rock”. Singlenya dirilis oleh Vicky Sianipar, bertajuk “Journey to Deli”.
Tengku Ryo Rizqan yang bergelar Merdangga Diraja, Kesultanan Negeri Serdang ini, menampilkan musik etnik Melayu di berbagai panggung sebagai upaya melestarikan budaya Melayu di Tanah Air. “Yang saya sajikan bukan hanya komposisi musik, tapi lebih ke perjuangan budaya, yang ditawarkan lewat pertunjukan musik,” katanya.
Di Kuala Lumpur, berkali-kali ia tampil tidak saja dengan musisi setempat, tapi juga mengajak musisi Indonesia lainnya, yang justru malah jadi pertunjukan yang jarang terjadi di Indonesia, antara lain dengan Iwang Noorsaid, Indro Hardjodikoro, juga penyanyi Rossa.
Konser Musical Paradigm Project kemarin, diwarnai dengan tata busana khas Tenun Nusantara, yang dipakai oleh para pengisi acara. Tak heran, karena di luar urusannya bermusik, Tengku Ryo juga kini sudah didaulat sebagai Ketua Umum Komunitas Tekstil Tradisional Indonesia (KTTI), karena kesetiaan, kepedulian, dan kecintaannya pada kain tenun, yang senantiasa ia kenakan di berbagai panggung.
Pada tahun 2014, ia pernah pula menjadi produser untuk sebuah film dokumenter yang bertajuk Jamu Laut, ritus nelayan di kawasan pesisir Serdang, arahan sineas muda Medan, Andi Hutagalung. Film ini meraih Penghargaan Khusus dalam Denpasar Film Festival (DFF) 2014 di Bali. (**)