
Garut, Jawa Barat adalah salah satu daerah yang memiliki potensi wisata yang sangat menarik. Dari mulai pegunungan, perbukitan, pantai, danau, air terjun, kampung adat, Telaga, Taman, Situs, pemandian air panas dan banyak lagi.
Salah satu tempat wisata yang menarik di Garut adalah Candi Cangkuang, serta Kampung Adat Pulo yang lokasinya berada disatu tempat yaitu di Pulau Panjang, sebuah pulau kecil yang terdapat ditengah Danau (situ) Cangkuang.
Candi Cangkuang dan Rumah Adat Kampung Pulo, terletak disebelah utara kota Garut, di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, 14 Km menjelang memasuki kota Garut dari arah kota Bandung.
Pengunjung yang ingin datang ke Desa Cangkuang bisa menggunakan kendaraan pribadi, Delman dan Ojek, untuk angkutan umum belum ada. Jarak dari Jalan Raya Leles menuju ke Desa Cangkuang sekitar 5 Km, jika datang sendirian lebih praktis naik ojek saja dengan biaya sekitar Rp.15.000 sd Rp. 20.000 sekali jalan, jika datang lebih dari satu orang sebaiknya naik delman, besaran biayanya bisa dinego dengan pemilik jasa angkutan tersebut.

Letak Candi Cangkuang berada di tengah-tengah Danau yaitu di pulau kecil seluas 16 Ha yaitu Pulau Panjang. Untuk menuju kesana, para pengunjung menggunakan jasa angkutan Rakit. Jarak dari Pangkalan Rakit ke Pulau Panjang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 200 Meter dan dapat ditempuh dalam waktu 15 Menit.
Disekitar lokasi Candi ini dipenuhi oleh pedagang makanan dan penjual souvenir, yang dengan santun menawarkan barang dagangannya.
Menjelang naik keatas bukit, dimana sebagai letak Candi, pengunjung akan memasuki kawasan perkampungan adat, pengelola tempat wisata telah mengatur rutenya sedemikian rupa, sehingga pengunjung Candi Cangkuang akan melewati Kampung Pulo ini sebelum tiba di lokasi candi.

Ada enam buah Rumah Adat yang berukuran sedang dengan kostruksi rumah panggung, tiga buah dikiri jalan dan tiga buah lagi dikanan jalan masuk, disebelah kiri depan jalan masuk terdapat sebuah bangunan masjid.
Lalu keunikan apa yang dimiliki oleh Kampung Pulo ini yang membedakannya dengan perkampungan disekitarnya?Di Kampung Pulo ini hanya boleh dibangun enam buah rumah saja, dan rumah adat ini hanya boleh dihuni oleh keturunan Embah Dalem Arief Muhammad (leluhur Kampung Pulo).
Rumah Adat didiami oleh enam Kepala Keluarga (Wanita) kepemilikan rumah disini dimiliki oleh garis keturunan pihak perempuan. Dilingkungan Rumah Adat ini tidak diperbolehkan memelihara ternak berkaki empat, dan ditabukan untuk menabuh (memukul) Gong. Jika terjadi petambahan keluarga karena pernikahan, maka salah satu keluarga harus keluar dari perkampungan ini untuk tetap mempertahankan jumlah KK yang ada.
Sebaliknya jika terjadi kematian, maka keluarga yang tinggal diluar boleh datang kembali untuk menjadi penghuni kampung adat, setelah melalui musyawarah dan seleksi oleh ketua adat.
 Lalu siapakah sosok Embah Dalem Arief Muhammad?
Menurut catatan yang ada, Beliau adalah salah seorang Senopati dari Kerajaan Mataram yang ditugasi untuk memerangi VOC di Batavia, karena Beliau merasa gagal menjalankan titah Raja, dan diduga ada perasaan takut dan malu untuk kembali ke Yogyakarta, maka Beliau dan pengikutnya memilih untuk bermukim di Desa Cangkuang dan kemudian mendirikan masjid dan menyebarkan Ajaran Islam disini.
Candi Cangkuang berdiri di puncak bukit, bangunan candi berbentuk persegi empat dengan lebar dan panjang masing-masing sekitar 5 Meter dengan ketinggian sekitar 9 Meter.

Candi Cangkuang adalah Candi peninggalan Agama Hindu di Tanah Sunda yang dibangun sekitar abad ke 8, tidak ditemukan rujukan siapa yang telah membangun candi ini, namun diduga candi ini dibuat bersamaan waktunya dengan candi di Situs Batujaya dan Candi Cibuaya
Bangunan candi menghadap ke arah timur, yang ditandai dengan adanya tangga yang menuju ke sebuah pintu masuk. Didalam candi terdapat ruangan 2 Meter persegi dengan ketinggian ruangan sekitar 3,50 Meter, pada bagian tengah ruangan terdapat Patung Siwa setinggi 40 Cm yang sedang duduk diatas lembu dengan sebelah kakinya terlipat.
Sekilas mengenai Candi Cangkuang
Seorang berkebangsaan Belanda bernama Vorderman pada Tahun 1893 menemukan reruntuhan Arca Siwa dan sebuah makam kuno di Bukit Kampung Pulo, kemudian Vonderman mencatatnya didalam Notulen Bataviach Gennot Schap.
Pada Tahun 1966, sebuah Team Peneliti yang dipimpin oleh Ahli Purbakala Drs Uka Tjandra Sasmita dan Prof Harsoyo mendatangi kembali lokasi candi dan mulai melakukan penggalian awal.

Pada Tahun 1967-1968 dilakukan penelitian lanjutan, Team Peneliti hanya menemukan makam kuno.
Disamping makam kuno tersebut ditemukan sebuah pondasi bangunan berukuran 4,5 x 4,5 Meter berikut sejumlah batuan lain yang berserakan disekeliling pondasi.
Pada Tahun 1974-1976 dilakukan penggalian lebih intensif, rekonstruksi dan pendataan ulang, dilanjutkan dengan  pemugaran dan pemasangan kembali semua reruntuhan.
Proses rekonstruksi dari batu-batu yang masih tersisa dilanjutkan dengan menambahkan sejumlah batu buatan, akhirnya pemugaran Candi Cangkuang dapat diselesaikan dan diresmikan pada 8 Desember 1976.
Selain makam, disekitar bangunan candi terdapat sebuah museum kecil yang berisi koleksi benda-benda peninggalan Mbah Dalem Arief Muhammad, berupa Naskah dari abad ke 17 yang terbuat dari kulit kambing dan sebuah Al Quran yang terbuat dari kulit kayu.

Hari telah menjelang siang ketika Saya beranjak meninggalkan Desa Cangkuang untuk melanjutkan perjalanan ke kota Garut. (Kalamullah gapuranews.com Biro Garu/gardo)