[dropcap color=”#888″ type=”square”]P[/dropcap]ameran Indonesia Tourism and Creative Economy Fair (ITCEF) digelar untuk ketiga kalinya setelah sukses diselenggarakan pada 2012 dan 2013.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bersama Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) bertindak sebagai penyelenggara pameran produk industri pariwisata dan ekonomi kreatif Indonesia ini.
Acara ini diselenggarakan di Jakarta Convention Center (JCC) pada 29-31 Agustus 2014, mulai pukul 10.00 sampai 20.00 WIB. Sebanyak 160 peserta dari segala pelaku industri, seperti agen perjalanan, hotel, serta badan promosi pariwisata daerah di seluruh Indonesia, mengikuti pameran tersebut.
Pameran pariwisata dan ekonomi kreatif atau Indonesia Tourism and Creative Economy Fair (ITCEF) 2014 yang digelar di JCC Jakarta pada 29-31 Agustus 2014 ditargetkan mampu meraup transaksi Rp 18 miliar hingga Rp 20 miliar.
“Kami targetkan terjadi transaksi lebih dari Rp 15 miliar seperti tahun lalu, setidaknya Rp 18 miliar hingga Rp 20 miliar,” kata Ketua BPPIÂ Wiryanti Sukamdani dalam pembukaan ITCEF 2014 di JCC Jakarta, Â Sabtu (30/8).
Wiryanti juga menargetkan pameran akan dikunjungi setidaknya 50.000 pengunjung. BPPI menggelar ITCEF 2014 yang diharapkan bisa menjadi tempat industri pariwisata yang terdiri dari maskapai, biro konvensi, biro perjalanan dan MICE, hotel, restoran, asosiasi di bidang pariwisata dan ekonomi kreatif, sekolah pariwisata, spa, dan industri kreatif bertemu dengan konsumennya untuk bertransaksi.
MEMPERKENALAN WISATA LEWAT FILM
Dalam kegiatan itu, Ketua BPPI mengatakan kawasan wisata di Indonesia melalui film merupakan cara paling efektif.
“Selama ini kami mempromosikan berbagai kegiatan pariwisata melalui film, untuk menjangkau pemahaman masyarakat mengenai suatu destinasi. Dan itu sangat efektif,” kata Yanti saat berbicara pada talkshow bertema Film Sebagai Sarana Promosi Pariwisata Efektif dalam rangkaian pameran Indonesia Travel & Creative Economy Fair (ITCEF) 2014.
Talkshow yang juga menghadirkan narasumber artis, sutradara dan produser Lola Amaria tersebut merupakan kerjasama BPPI dengan Forum Wartawan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Forwarparekraf).
Film yang dimaksud oleh pengusaha perhotelan ini adalah video yang menggambarkan keindahan alam dan keragaman budaya di Indonesia. “Kami membuat film promosi untuk diputar di berbagai kegiatan BPPI,” lanjutnya.
Menurut Yanti Sukamdani, perkembangan perfilman di Indonesia telah ikut memberikan kontribusi terhadap dunia pariwisata di Indonesia. “Saya sudah menonton beberapa film Indonesia seperti Laskar Pelangi dan 5 Cm yang sangat menginspirasi orang untuk berkunjung ke lokasi syutingnya di Belitung dan Gunung Semeru,” katanya.
Dia memberi ilustrasi kawasan wisata di luar negeri yang kebanjiran wisatawan setelah diangkat ke dalam film. “Kawasan Phi Phi di Thailand yang dijadikan lokasi syuting film James Bond The Man The Golden Gun menjadi “James Bond Island” sejak film itu dibuat tahun 1970,” ujarnya.
Lokasi syuting Lord of The Ring di Selandia Baru dikunjungi belasan ribu wisatawan. “Para wisatawan mengatakan film tersebut alasan utama mereka berkunjung,” kata Yanti.
Sedangkan film Harry Potter yang mengambil setting bangunan tua di Inggris melahirkan tempat-tempat wisata unik dan menarik yang tersebar di Amerika, London hingga Skotlandia.
Mengingat potensi pariwisata Indonesia yang ditargetkan oleh pemerintah baru akan dikunjungi 20 Juta wisatawan, Yanti Sukamdani optimis pencapaian angka tersebut apabila seluruh asosiasi di bidang ekonomi kreatif saling berkoordinasi.
“Kita berharap pada pemerintahan yang baru nanti, khusus mengenai perfilman ini karena berkaitan dengan promosi destinasi di Indonesia, agar dibuat regulasi-regulasi yang tidak menyulitkan para pembuat film ketika syuting di lokasi-lokasi tertentu di Indonesia,” papar Yanti.
Dia menambahkan, yang juga perlu menjadi perhatian pemerintah adalah tata edar film yang masih dikuasai group tertentu serta terkendala sedikitnya jumlah layar bioskop didaerah. Seharusnya kendala ini bisa dimanfaatkan pemerintahsebagai peluang investasi di bidang perfilman.
DITERTIBKAN
Lola Amaria mengungkapkan pengalamannya memproduksi film Inerie yang berlatar keindahan alam Flores di Nusa Tenggara Timur.
“Akses jalan sangat berat untuk mencapai spot terbaik ketika saya syuting “Inerie”. Tetapi, itu memang harus ditempuh untuk mendapatkan gambar terbaik,” katanya tentang film tentang kasus kematian ibu di NTT yang produksinya didukung pemerintah Austalia itu.
Pemilik Lola Amaria Production ini juga mengungkapkan masalah ‘pajak-pajak liar’ di lokasi syuting yang menambah beban pembuat film bersetting panorama dan keindahan alam Indonesia.
“Untuk mendapat izin syuting film selama ini tidak masalah, tapi justru pajak liar preman di setiap lokasi syuting itu yang memberatkan,” katanya. Dia berharap sineas mendapat dukungan keamanan dari pihak terkait ketika berada di lokasi syuting.
Menanggapi ‘curhat’ Lola Amaria, ketua BPPI Yanti Sukamdani mengatakan, pihaknya juga pernah mendapatkan keluhan seperti itu.
“Terutama di Papua, saya mendengar keluhan soal peraturan yang terkait dengan keamanan tapi justru mempersulit syuting. Seharusnya ‘keamanan’ itu diperjelas aturan mainnya. Jangan hanya melarang,” kata Yanti yang juga anggota Komisi X DPR RI ini. Â (imam/kf/gardo)