Bicara Rupa, Rumah Cantik untuk ‘Wong Cilik’: Arsitek sebagai Agen Perubahan

oleh -585 views

JAKARTA – Gerakan adalah sesuatu yang terus muncul dalam dunia seni rupa dan arsitektur, agar pemikiran dan gagasan terus berkembang dan berubah. Kurator Galeri Nasional Indonesia Asikin Hasan mengungkap, “Dalam sejarah seni rupa di Indonesia, pada 1975 muncul Gerakan Seni Rupa Baru, dipelopori oleh sejumlah perupa muda terutama dari Bandung dan Yogyakarta.

Mereka membuka wawasan baru dan beragam dalam melihat seni rupa yang hidup di dalam masyarakat, kemudian disebut sebagai SENI RUPA SEHARI-HARI.” Pada 1987, mereka memperlihatkan sebuah proyek bersama atau karya bersama dinamai PROYEK I: PASARAYA DUNIA FANTASI, berupa sebuah karya instalasi menggambarkan simulasi sebuah supermarket.

Tradisi supermarket merupakan gaya hidup baru di Jakarta, kemudian merambah ke seluruh daerah di Indonesia. Kehadiran Gerakan Seni Rupa Baru sendiri dipicu oleh faktor internal dan eksternal.

Sedangkan dalam dunia arsitektur diawali oleh gagasan Jakarta City Planning oleh Presiden Soekarno, kemudian muncul semacam embrio gerakan pada 1981 oleh Romo Mangunwijaya. Beliau mengembangkan hunian di bawah kolong jembatan Kali Code Yogyakarta, menjadi sebuah hunian yang layak, pantas, dan artistik.

Gerakan ini mendapat perhatian luas dari masyarakat, dan media massa, karena pembangunan kawasan tersebut sempat dilarang oleh pemerintah daerah setempat karena menyangkut masalah keselamatan sekaligus masalah hukum dan lain sebagainya.

Karya arsitek yang juga sastrawan dan pastor ini menerima penghargaan dari Agha Khan, sebuah penghargaan bergengsi di bidang arsitektur.

Yuke Ardhiati, arsitek yang sekitar satu dekade belakangan, memiliki perhatian terhadap hunian ‘Wong Cilik’, kondisi yang selama ini tidak banyak diperhatikan oleh para arsitek. Ia pernah menata kawasan Pasar Kembangsari Piyungan, Yogyakarta yang diluluhlantakkan gempa pada tahun 2006.

Terakhir ia tengah mengembangkan gagasan untuk mengembangkan apa yang ia sebut sebagai RUMAH CANTIK untuk “WONG CILIK”, yang berorientasi tidak hanya sebagai hunian yang patut, tapi juga sebagai tempat usaha, dan keberlanjutan mereka yang hidup dengan penghasilan rendah. (red)