Karya. Malubi
Hidup dalam kerapuhan
Rumah kecil itu reot dan rapuh
dihuni oleh jiwa-jiwa gelap lagi rapuh
berjalan di atas kelam kemiskinan
papa, gersang busung dada
hidup dalam kematian
langkah yang tak pasti seakan cinta di kabut gelap
tak kenal sang pencipta
bagai selamanya berpijak di atas tanah
gersang
lapuk dan kering
tapi layaknya mabuk siang mabuk malam
cari nafkah buat sejengkal perut
sempoyong terjang kabut kemiskinan
mengais cakar dalam genangan lumpur busuk
namun bahagia masih terkubur di dasar lapisan bumi tujuh
sayang, nafasmu kau tunggangi dengan memperkosa waktu
dan kau tetap mabuk padahal tanganmu hanya sedepa di atas kepala
toh, kau tetap mimpi tuk meraih bulan
hentikanlah langkahmu
urungkan mimpi yang menyetubuhi nafasmu
dunia ini
hanya seperti ini
cinta yang membayang matamu adalah fatamorgana yang siap merenggut
menggerogoti jiwamu
menghempas asmara nafas yang berdesah tanpa tujuan pasti
berhentilah
susukan airmatamu pada guratan wajah yang dirindu tanah
jangan lagi mimpi
karena gelap malam takkah rebah di pangkuan siang raya.
Anak Laut
Senja
sore itu menangkap waktu
anak nelayan bercelana pendek
baju kumal
tenteng kepiting dalam jaring
jajakan pada pelancong
wajah lelah terbakar matahari
hidup dihempas ombak
tak terpikir sekolah
yang penting laut jangan kering
Tukang Becak
Nafasnya terengah-engah
bawah terik matahari
lelaki tua tubuh kurus jangkung itu
mendayung becaknya
di atasnya duduk santai seorang pemuda
kepulkan asap rokok
tiba jalan tanjakan
tukang becak turun dorong becaknya
tapi penumpang tetap duduk di tempatnya
oh anak zaman…
Kenapa tak berjamaah
Titik embun masih membekas
di rerumputan taman depan rumah
angin berhembus
sapa ramah
tuan sehat kenapa tak ke mesjid berjamaah
Sekiranya dulu aku
Sekiranya dulu aku mau belajar mengaji
tentu aku
tak sebodoh dan setolol ini
sekarang aku baru sadar
kalau rotan pelibas Amin kawanku
yang disimpan ayahnya di balik pintu itu
telah menjadikannya anak yang hafal quran
usia kami sama hanya beda tanggal
tapi kini raut wajahku jauh lebih tua
kering tak bercahaya
sementara wajah Amin lembut bersahaja
di keningnya memantul cahya yang menyinari senyumnya saat berbicara
aku malu
sekarang aku baru tahu arti hidup ini
rasanya ingin kuantukkan kepala ini ke dinding
yang selama ini besar kepala
yang selama ini hidup seperti raja
tapi sesungguhnya hari ini baru kusadari
kalau hidupku ternyata tak lebih dari seonggok ranting lapuk
istana yang aku bangun hanyalah istana pasir
aku ingin seperti mereka
pergi ke mesjid pakai sarung pakai peci
tapi aku tak hafal bacaan sholat
gerakannya pun aku tak bisa
memang pernah satu waktu aku diajak Amin
katanya ikut-ikut saja dulu
lama lama kau juga pasti bisa
tapi aku malu
mau belajar pun aku malu
apa kata orang
semua akan mengejekku
semua orang akan mencibir padaku
oh, bodoh dan tololnya diri ini
andai saja dulu aku mengaji
andai saja dulu aku
andai saja dulu
andai saja
tapi nasi sudah jadi bubur
kini kusadari
di usia tua ini
aku hanya kerangka kering
yang berdiri di atas perahu tua
menatap jauh ke dermaga
sedang gumpalan hitam badai mengaum berlari kencang di depanku
Tuhan
hanya Kau yang mampu menyelamatkan diri ini
seluruh catatan keburukanku ada di mataMu
gemerlapnya dunia telah menjerembabkanku ke lumpur yang dalam
dan dengan kebodohan dan ketololanku
kubangun benteng kesombongan
justru di atas tanah lumpur hitam
yang bau dan menjijikkan
Tuhan
ajari aku menyebut namaMu
ajari aku mencintaimu
ejakan ke telingaku firmanMu
tuntunlah kakiku melangkah
‘tuk mencari cinta yang aku belum tahu dimana
Tuhan
jangan Kau biarkan aku sasar
dalam peluh gelap
dalam cabik-cabik cinta yang lara
Tuhan
bila waktu telah tiba
bila perjalanan telah usai
jemputlah aku
saat aku berada di tamanMu
Tuhan
Sunyi
Air sudah berangsur surut
orang-orang mulai membersihkan sampah dan lumpur
yang mengotori rumah mereka
setelah semalaman banjir datang menerjang
menjemput kesombongan yang meraja diri
airmata warga tumpah
dan kesedihan pun berlalu saat air kembali ke habitatnya
ya, hanya sebatas itu
gelombang datang menerjang
warga menjerit menangis
air pulang kembali
warga tersenyum ria
muhasabah sunyi
mimpi hidup seribu tahun lagi
seakan air takkan pernah kembali
sunyi
cinta pun sunyi
dan hati pun kembali sunyi
Suratmini
Segenggam harap seorang ibu
ia tumpahkan pada anak-anaknya
yang tumbuh dalam kemiskinan
suratmini, itu nama perempuan yang tak mengenal lelah
memperjuangkan nasip anak-anak tanpa kasih sayang ayah itu
suami yang dibanggakan pergi dengan perempuan lain
suratmini bukan perempuan sembarangan
ia punya harga diri
sebatas kemampuan ia bekerja apa saja tuk menghidupi tiga orang anak
tak kenal lelah
habis subuh ia sudah berada di pasar tradisional
menjual sayuran, cabai, tomat dan bawang
pukul sebelas siang paling lambat, ia sudah berada kembali di rumah
usai sholat Zuhur
suratmini membantu di industri rumahtangga pengolahan ubikayu di sebelah rumahnya
malam usai sholat magrib anak-anak datang ke rumahnya
bawa kitab iqra’ dan al-quran
awalnya ia hanya mengajari ketiga anaknya baca quran
tapi semakin lama semakin banyak orang kampung itu
mengantarkan anaknya belajar mengaji ke rumah suratmini
hampir empat puluh orang sudah
suratmini ikhlas menyumbangkan ilmunya yang tak seberapa
mengajari anak-anak tetangga
tapi para orangtua juga tidak tinggal diam
setiap bulan mereka kumpul sejumlah uang dan memberikannya pada suratmini
suratmini
perempuan sigap yang tak kenal menyerah
setiap malam tahajjudnya berdoa:
“Tuhanku ampuni aku
beri aku kesehatan, bimbing aku di jalan yang lurus
jauhkan aku dari sifat malas, mudahkan rezeki anak-anakku
dan aku berjaji untuk mewakafkan anak-anakku
semoga engkau bimbing mereka untuk menjadi penghafal alquran-Mu
Tuhanku
kumohon jangan kau cabut nyawaku
sebelum aku melihat ketiga anakku menjadi anak-anak yang hafal Quran
Tuhanku
Perkenankanlah doa hamba-Mu yang lemah ini”
Suratmini
perempuan sederhana
sejak ditinggal suaminya
sudah tujuh lelaki datang minta untuk menikahinya
tapi semua ia tolak
katanya untuk saat ini ia belum ada berfikir untuk menikah lagi
saat ini hidupnya hanya konsentrasi membesarkan ketiga anaknya
lain tidak
Suratmini
Tuhan
Dalam bait-bait doaku
yang basah gores luka
aku datang kembali pada-Mu
setelah aku berlari peluh rintih
bersembunyi di kelam sunyi
berulangkali aku terhempas
berulangkali aku datang merangkak kembali pada-Mu
Tuhan
sungguh aku malu
tapi tak ada tempat bagiku ‘tuk sembunyi
Tuhan
aku datang kembali bersungkur di hadapan-Mu
dalam peluh lumpur dosa
Robb……………………………….
seribu janji telah kulumat dalam dusta
menari di ladang-ladang nista
tapi aku tau Tuhan
di tangan-Mu membentang luas samudra keampunan
samudra rindu penuh wewangi
Tuhan