(75) Cerpen Mini (Cermin) ‘Rahasia Kalung Putra Melayu (4)’

TENGKU TORA dengan cepat mengirim kabar duka cita kepada murid-murid Tengku Ulung Alas dan pendekar-pendekar handal tanah melayu Langkat, Tengku Husein Petir, Datuk Panglima Hitam, Mat Kilau, Mat Litak dan Tan Tualang Simata Elang. Semua mereka merasa kehilangan, tabib mujarab tanah melayu. Penujum yang jitu.
Rendah hati, penyabar, nyaris lengkap kebaikkan padanya. Satu-satu kelemahannya dia tidak menyeleksi orang-orang yang berguru padanya. Tak heran, muridnya ada yang menjadi lanun di laut Selat Malaka.

Tora tersandar di dinding menatap raga yang terbujur kaku, menyisakan senyum dan muka yang bersih.
Tan Bima, putra tunggal Tora bersama Raka Perdana, sibuk memasang tenda, mempersiapkan fardu kifayah untuk pemakaman esok hari. Tengku Sita membaca surah yasin dengan para pelayat yang hadir. Semakin malam semakin banyak pelayat yang hadir terutama para tetua, tetangga dan bahkan datuk panglima hitam, Tengku Husein Petir sudah berada di rumah duka. Pertemuan tokoh-tokoh melayu itu seakan reuni ke kampung asal mereka. Anak pinggiran sungai Wampu, di dusun suka raja Bohorok.

Bacaan Lainnya

Tak terasa subuh pun luruh. Seusai subuh anak-anak dara sibuk menjerang air, menanak nasi di dandang, untuk sarapan para pelayat yang jauh tempat tinggalnya. Kerjasama mereka sudah terbentuk sejak kanak-kanak, kearifan lokal yang belum lekang.

Tengku Sita selesai mempersiapkan sarapan pagi. Dia ke biliknya, mengganti gaun duka, serba putih, wajah tanpa polesan make up memancarkan aura yang membuat decak kagum. Pesona alami puteri melayu. Dia nyaris ambruk ketika berjalan di seputar tenda menyalami para pelayat. Dengan cekatan Tan Bima menampung tubuh Sita. Tora mengejar, membawa Sita dalam pangkuannya. Mengusap-usap rambutnya dengan penuh kasih sayang. Tan Bima semakin bertanya-tanya bagaimana hubungan ayahnya dengan Sita. Sedangkan Raka memandang dari kejauhan adegan tersebut. Hatinya galau tapi dia mampu mengendalikan perasaannya.

Marissa pun datang, dia berbisik pada Tora, suaminya, “kita bawa Sita ke rumah sebelah, kondisinya sangat lemah.”
Marissa dibantu beberapa orang tetangga membawa Sita ke rumah wak Limah, direbahkan ke katil tua yang ringkih. Sita tersadar ketika Marissa menyapu keringat di tubuhnya. Dengan cepat Marissa mengganti gaunnya.

“Di mana aku ini makcik?”, tanya Sita.
“Ananda, ini rumah tetangga nanda. Kuatkan semangat nanda, ikhlaskan kepergian ayah.” Tiba-tiba Tan Bima muncul dari dapur membawa secangkir teh manis. Dia sodorkan pada Sita. Sita terpana, memandang sekejap muka Bima. Diminumnya teh manis itu hingga habis. Marissa memandang putranya dengan isyarat kedipan.

“Gawat. Jangan sempat Bima tertarik pada Sita, kasihan Sonya.
Tan Bima membaca kecemasan bundanya. Ia berbisik pada Marissa : “bunda tenang saja, tak ada khianat dalam hatiku. Ini semata kemanusiaan saja.”
Lalu Tan Bima megang tangan Sita menuntunnya ke rumah duka. Diiringi Marissa dan beberapa anak dara.

Langit cerah, bumi teduh, angin bertiup lembut, fardu kifayah satu persatu dilaksanakan. Di pemakaman Sita dituntun Marissa. Raka berjiwa tenang, tak gegabah menduga yang tidak-tidak.
“Sepertinya lelaki yang memangku Sita tadi bisa membuka tabir yang urung dikuakkan alm Ulung Alas sebelum ia menghembuskan napas terakhir”, kata Raka dalam hatinya.(***)

Medan, 210820

tsi taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *