JAKARTA – Sebanyak 55 karya dari 55 seniman dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia (Galnas), Jakarta sebagai Pameran Seni Rupa Nusantara tahun ini dengan tema ‘Kontraksi: Pascatradisionalisme’.
Dari 55 seniman, 36 di antaranya merupakan hasil seleksi 886 karya dari 677 seniman melalui pendaftaran terbaru. Sedangkan 19 seniman lainnya adalah undangan khusus dari Galeri Nasional Indonesia.
Eksibisi yang dikuratori oleh Asikin Hasan, Sudjud Dartanto, Suwarno Wisetrotomo, Bayu Genia Krishbie, dan Teguh Margono mengungkap makna dari tema eksibisi. Istilah ‘kontraksi’ diartikan sebagai proses mempersingkat kata dengan kombinasi dan peniadaan bunyi dalam ucapan.
Pameran Seni Rupa Nusantara 2019 ini digelar sejak 23 April – 12 Mei 2019. Gelaran ini bersifat terbuka dan memberikan kesempatan bagi para perupa di seluruh Indonesia untuk berpartisipasi, menunjukkan potensi dan kreativitas, serta eksistensinya dalam ajang seni rupa bertaraf nasional, baik bagi para perupa muda maupun para perupa handal yang telah lama berkecimpung di dunia seni rupa dalam lingkup nasional maupun internasional. Karena itu, pameran ini sekaligus menjadi media pemetaan perkembangan mutakhir seni rupa di tanah air.
Galeri Nasional Indonesia sebelumnya telah sembilan kali menyelenggarakan Pameran Seni Rupa Nusantara. Pertama kali pada 2001, kemudian 2002, 2005, 2007, 2009, 2011, 2013, 2015, dan 2017 dengan mengangkat tema yang berbeda. Pada tahun 2019 ini, Pameran Seni Rupa Nusantara diselenggarakan untuk yang kesepuluh kalinya.
Diungkap Kepala Galeri Nasional Indonesia, Pustanto, Pameran Seni Rupa Nusantara 2019 agak berbeda dari penyelenggaraan sebelumnya. Kali ini, pameran ini tidak menitikberatkan pada keterwakilan suatu wilayah, namun lebih menekankan pada keterampilan (skill) para perupa Indonesia yang diwakili dari hasil karyanya yang tentu sesuai dengan tema pameran yaitu “Kontraksi: Pascatradisionalisme”.
“Istilah kontraksi (contraction) dalam Kamus Oxford diartikan sebagai ‘the process of shortening a word by combination or elision’ (proses mempersingkat kata dengan kombinasi dan peniadaan bunyi dalam ucapan). Terkait pengertian tersebut dan bingkai kurasi pameran, maka ‘KONTRAKSI’ dalam pameran ini dimaksudkan sebagai sebuah pergulatan luar biasa sesuatu tanda dari berbagai proses kombinasi, dan dari pergulatan itu memungkinkan lahirnya tanda baru. Kelahiran tanda baru akan terus berulang-ulang mengikuti hukum alam sepanjang masa. Persoalan apakah yang baru akan sama dengan yang lama atau lain sama sekali adalah kehendak yang harus kita terima sebagai sebuah proses dialektika,” kata Pustanto, Selasa (23/4/2019).
Ia melanjutkan, modernisme dalam seni menghasilkan spirit “shock of the new”, di mana menyuguhkan ‘kebaruan’ adalah ukuran utama dalam perkembangan seni. Namun untuk masa kini setelah modernisme mengalami krisis, spirit “shock of the new” berakhir dengan tanda tanya: benarkah seni rupa masa kini lahir dari gagasan baru?
Seiring dengan pemikiran postmodernisme yang memandang karya seni sebagai sebuah teks yang teranyam dengan teks-teks lainnya, maka menarik kiranya untuk melihat kembali kaitan gagasan penciptaan karya masa kini dengan gagasan/ide/pemikiran tradisional yang sesungguhnya, dalam keyakinan tim kurator: terus berkembang.
Tradisionalisme di Indonesia berjalan dengan laju perkembangan modernisme sebagai negara-bangsa poskolonial, walau keduanya berbeda konsep, namun pada praktik sosial kulturalnya bercampur baur membentuk rangkaian gagasan dan praktik yang tak terhingga.
Bagaimana nilai/prinsip/gagasan tradisi direfleksikan/direfleksifkan oleh perupa masa kini? Kita mencoba berputar ke segala arah untuk mencari jawab, ternyata keterampilan adalah kunci utama pada bentang gagasan ini yang kami lihat nampak terpinggirkan.
Gejala itu makin menguat paling sedikit dalam satu dekade terakhir, di mana keterampilan makin dibelakangi di tengah jargon yang menjurus pada konsep yang terasa menguasai medan seni rupa pada pameran-pameran besar. Mengapa tradisi keterampilan dibelakangi?
Padahal, di situlah sejatinya seni rupa menunjukkan pesona dan kekuatannya. Akhirnya dengan mempertimbangkan fenomena di atas, tim kurator menitik-api kuratorial pameran ini pada aspek skill yaitu keterampilan dalam berkarya.
Dari penjelasan tersebut, maka konteks “Pascatradisionalisme” yang dimaksud tim kurator dalam pameran ini mengisyaratkan kesadaran untuk tidak terjebak pada ‘keadiluhungan’ dan kolektivisme sempit, alasannya bahwa yang nonadiluhung pun punya derajat sama dalam ranah seni kontemporer.
Selain itu, dalam kesadaran pascatradisionalisme: seniman adalah agen yang bebas berkreasi, menafsir tradisi, dan berempati dalam semangat kolektivisme baru yang memiliki ciri emansipatif (membebaskan) dan inklusif (terbuka atas keragaman) di tengah era nirsekat (globalisasi) sekarang ini. (**/gardo)