Riri Satria: Puisi Sains, Matematika dan Perubahan Sosial

Riri Satria

JAKARTA – Dalam rangka menyambut Hari Puisi Dunia atau World Poetry Day 2021 pada hari Minggu tanggal 21 Maret 2021, komunitas Jagat Sastra Milenia menyelenggarakan Ngopi Pagi dan Puisi, berlokasi di Cafe Cerita, Jalan Otista, Jakarta Timur, tanggal 21 Maret 2021 pukul 10.00 – 12.30.

Pada acara ini, Riri Satria, Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) didaulat untuk membacakan puisi pada buku puisinya yang kedua “Winter in Paris”. Semua puisi pada buku ini ditulis dalam Bahasa Inggris pada saat musim dingin (winter) di Paris, Prancis, tahun 2016, serta beberapa puisi lainnya yang juga berbahasa Inggris yang ditulis di berbagai kota, antara lain Yerusalem dan Bangkok. Buku puisi “Winter in Paris” ini diluncurkan pada Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2017, di Ni Rondji Café, Museum Antonio Blanco, Ubud, Bali, 26 Oktober 2017.

Bacaan Lainnya

Acara juga diselingi dengan ngobrol santai dengan Riri Satria seputar proses terciptanya buku “Winter in Paris” serta hal-hal lainnya tentang puisi, sambil menikmati kopi pagi, yang dipandu oleh penyair Emi Suy.

“Puisi adalah salah satu cara saya untuk menyeimbangkan kehidupan saya yang sarat dengan teknologi, ekonomi, penelitian, yang penuh dengan rasionalitas terukur, angka-angka, rumus-rumus, analisis. Puisi membawa saya untuk menyadari banyak fakta-fakta tak terlihat kasat mata, suara-suara tak terdengar, melakukan dialog batin dengan diri sendiri, membiarkan imajinasi berkelana ke mana saja, dan tentu saja mencoba untuk memahami kehidupan dengan lebih baik.” demikian ungkap Riri pada sesi diskusi yang dipandu penyair Emi Suy.

Ketika ditanya bagaimana peran puisi dalam perubahan sosial, Riri menjelaskan, “Perlu kita pahami bahwa puisi tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi atau pendapatan nasional, puisi tidak akan menemukan obat atau vaksin baru, puisi tidak akan menemukan sumber energi terbaharukan, dan sebagainya. Bukan itu peran puisi. Namun, puisi itu harus mampu menyentuh batin manusia, membuka paradigma, membangun empati, membangun semangat, dan sebagainya, sehingga manusia bisa berkarya untuk membangun perubahan sosial, bahkan peradaban.”

“Puisi mampu menjadi alat untuk menggugah manusia memelihara sistem sosial yang baik, menjaga lingkungan hidup dengan baik, menjaga nilai-nilai kemanusiaan, dan sebagainya. Misalnya kumpulan puisi Rendra yang memotret pembangunan yang disajikan dengan puitis, menjadi salah satu alat kontrol sosial. Jadi bukan puisinya yang membuat perubahan sosial, namun puisi mampu menjadi trigger buat manusia sehingga melakukan hal-hal baik untuk perubahan sosial. Jadi peran puisi itu tidak langsung dalam perubahan sosial. Itu hakekat puisi menurut saya.” demikian lanjut Riri.

Kemudian Riri menjelaskan lebih lanjut “Puisi tak hanya dibacakan di ruang pertemuan para penyair semata. Puisi tak boleh berhenti di ruang-ruang senyap yang tak bergaung ke mana-mana. Puisi harus sampai menggugah mereka di ruang diskusi ekonomi, bisnis, teknologi, energi, kedokteran, pertanian, lingkungan hidup, dan sebagainya. Puisi dan penyair harus punya wibawa jika berhadapan dengan ini semua.”

Penyair Nanang R. Supriyatin mengatakan, “Nyaris aku tak percaya bahwa seorang Riri Satria mampu menghadirkan dialog-dialog puitis. Padahal notabene beliau adalah seorang akademisi, ahli teknologi informasi, serta komisaris sebuah BUMN. Menurutnya, dunia puisi masuk ke tubuhnya sebagai dunia ketiga, setelah ekonomi/bisnis, serta akademik. Wow!”

Riri melanjutkan bahasannya “Puisi bukan hanya soal cinta picisan, patah hati, rindu, dan sebangsanya. Itu boleh-boleh saja, kan manusiawi juga. Kita manusia kan punya softside yang bisa diekspresikan dengan puisi. Tetapi kita perlu ingat, bukankah karya tertinggi untuk karya sastra (termasuk puisi) di dunia ini adalah Hadiah Nobel? Artinya setara dengan ilmu fisika, kedokteran, ekonomi, dan sebagainya, serta sama pentingnya dengan perdamaian dunia. Jadi, ya seserius itulah!”

Ketika ditanya oleh Emi Suy tentang kaitan puisi dengan sains, maka Riri menjelaskan, “Ada suatu titik waktu dulu, akhirnya saya menyadari bahwa matematika itu bukanlah sekedar hitung-hitungan semata. Matematika adalah bahasa puitis yang diciptakan Tuhan untuk menjelaskan kepada manusia tentang harmoni lingkungan, alam, bahkan jagat raya. Buat saya, science is the poetry of the universe, and mathematics is the language”.

Pada penutup dialognya, Riri mengatakan bahwa kita semua berproses, dan itu sangat alamiah dan manusiawi. Bahkan bidang yang berproses dalam diri kita bisa jadi tidak satu atau ada beberapa. Misalnya pada dirinya sendiriRiri menjelaskan bahwa pada penelitian di kampus, dia sudah membimbing tesis S2, namun soal perpusian, dia masih harus banyak belajar lagi. Tetap belajar dan belajar. Belajar itu membutuhkan growth mindset, terbuka menerima semua masukan atau hal-hal baru untuk kemajuan kita. Jauhkan dari sikap jumawa.

“Nah, yang gawat itu kan baru bikin skripsi S1 tetapi lagaknya sudah kayak profesor, baru belajar satu dua jurus tetapi lagaknya sudah kayak pendekar sakti .. hahaha .. Atau baru satu dua puisi muncul di antologi bersama, lagaknya sudah kayak penyair top. Belajar perlu kerendahan hati, bahkan saya juga belajar dari mahasiswa-mahasiswi saya, banyak hal-hal baru dan menarik saya peroleh dari mereka. Yuk, sama-sama berproses, dan kita nikmati proses itu. Berproses itu tak pernah berhenti, karena di atas langit pun masih ada langit yang lain, termasuk dalam berpuisi dan bersastra”, demikian ungkap Riri mengakhiri acara hari itu menjelang siang.

Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970 dan saat ini menjalani hidup di tiga “dunia yang berbeda”, yaitu dunia bisnis, akademik, serta sastra. Pada dunia pertama yaitu bisnis, saat ini Riri adalah Komisaris pada PT. Jakarta International Container Terminal (JICT), Founder serta CEO pada Value Alignment Innovation and Technology Advisory (VITech), serta konsultan manajemen strategis dan transformasi digital pada berbagai perusahaan di Indonesia, baik swasta nasional, multinasional, BUMN, serta institusi pemerintahan. Sedangkan pada dunia kedua yaitu akademik, Riri adalah seorang Dosen pada program Magister Teknologi Informasi Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.

Pada dunia ketiga yaitu sastra, Riri adalah Pendiri dan Ketua pada Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) serta Pembina Komunitas Sastra Bumi Mandeh (SBM) di kampung halamannya Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Riri adalah penyair yang puisinya sudah diterbitkan dalam tiga buku puisi tunggal, yaitu ‘Jendela’ (2016), ‘Winter in Paris’ (2017), serta ‘Siluet, Senja, dan Jingga’ (2019) yang diluncurkan pada Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Jakarta, tahun 2019. Selain itu puisinya juga dimuat dalam 35 buku kumpulan puisi bersama pata penyair Indonesia lainnya.

Aktivitas lainnya adalah Ketua Umum Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (2011-2018), dan saat ini menjabat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI). (red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan