SEMULA hanya Tora, Marissa dan anak-anak mereka yang kembali pulang ke kampung halaman. Ketika hal itu disampaikan Tora pada Hang Kilau beberapa hari yang lalu, Tora membaca wajah dua orang sahabatnya itu. Wajah dan gestur-nya seakan bicara, “ajaklah kami kembali.” Puluhan tahun mereka bersama, tak sulit bagi Taura menilik raut muka Hang Kilau dan Mat Litak. Sebelum mengajak sahabatnya itu, Tora berbicara pada Marissa, istrinya. Marissa mendukung niat suaminya. Masalahnya stok keuangan Tora pas-pas-an saja untuk membeli tiket sahabatnya yang sudah lama menduda. Dengan tersenyum Marissa menghibur suaminya, “tak ada masalah yang tak dapat dipecahkan, apalagi yang namanya gelas.” Marissa pamit pada suaminya, dia kepasar menjual perhiasan emasnya. Termasuk cincin perkawinan mereka. Kebetulan harga emas sedang melonjak. Uangnya bulat-bulat dia serahkan pada Tora. Tora tercenung, “mulianya hatimu, tak pernah membuatku pusing. Kesederhanaanmu melengkapi kepribadianmu yang luhur”, kata Tora bicara pada dirinya sendiri. Hang Kilau dan Mat Litak terlonjak gembira diajak kembali ke kampung halaman.
Pagi itu udara cerah di atas kota Bandung. Lalu lintas sudah seperti biasanya, Bandung dan Jakarta menerapkan Pembatasan Sosisl Berskala Besar (PSBB) Transisi. Mal-mal sudah mulai beroperasi. Ojek OnLine sudah dibolehkan membawa penumpang. Surat Ijin Keluar Masuk Jakarta diperlonggar. Dengan dua mobil rental mereka menembus Jakarta. Tora penderita akut PATIMA (PAyah TIdur MAlam) sejak dari Bandung hingga Jakarta terlelap dalam dengkur yang beraneka suara. Peraturan naik pesawatpun mulai longgar, hanya membutuhkan hasil Rapid Test dan surat keterangan sehat. Cuma kantin-kantin di Bandara Cengkareng Terminal 2E belum kelihatan ada yang buka. Setelah check-in yang dibantu mantan-mantan staf Tora, mereka menunggu di ruang keberangkatan. Tora yang pelucu mengocok perut Hang Kilau dan Mat Litak. Marissa hanya senyum-senyum saja. Tora juga suka mencagil kawan-kawan akrabnya. Tiba-tiba tawa mereka terhenti saat seorang lelaki mata sipit menyapa Hang Kilau dan bertanya hendak kemana. Hang Kilau menjelaskan, lelaki bermata sipit bernama Hengky Pribadi itu kemudian mengajak Hang Kilau ke suatu sudut, setelah terlebih dahulu minta ijin pada Tora dan Mat Litak. Hanya beberapa menit, Hang Kilau muncul dengan sebuah tas sandang. Tas itu diserahkan Hang Kilau pada Marissa. “Ini kak untuk bekal kita di kampung, cukup untuk enam bulan”, kata Hang Kilau. Marissa menolak, Hang Kilau menyandangksn ke bahu Tora. Tora juga menolak, akhirnya Tas itu berpindah ke bahu Mat Litak.
Dalam hati Tora bergumam, “benarlah kata orang bijak, sahabat itu berada dalam satu jiwa berlainan tubuh.”
Lima belas menit sebelum boarding, Mat Litak ditelepon ayahnya, menyuruh Mat Litak kembali ke kampung. Si ayah mengabarkan tanah milik mereka laku dengan harga tinggi. Mat Litak satu-satunya anak sang ayah yang sangat disayanginya akan menerima seluruhnya hasil dari penjualan tersebut. Siayah hanya ingin Mat Litak tak merantau lagi, hiduplah bersama sang ayah dan carilah pengganti istri Mat Litak yang meninggal dunia karena Covid-19. Mendengar berita tersebut, Mat Litak merangkul dua sahabatnya. Dia pun mencium tangan Marissa. Dengan tersendat Mat Litak ngomong, “Tora, jangan kau menolak, beli bangunan untuk kantormu. Aku dan Hang Kilau cukuplah jadi SatPam di kantormu.” Pesawat pun bergerak mundur dan memutar, tinggal landasan, tinggallah rantau.
“Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”, Marissa bergumam. (***)
Jkt, Juni 2020
Tsi Taura