Oleh: Tatan Daniel
DI SISI mesjid tua Azizi, di seberang mahtab tempatnya belajar mengaji dimasa kanak-kanak, di Tanjung Pura, kini ia bersemayam. Penyair yang dibunuh itu. Alangkah sukar membayangkan, seorang penyair mati dibunuh! Lelaki bersuara lirih dan lembut hati itu. Ia yang beberapa waktu setelah berita proklamasi yang terlambat sampai, berkeliling kota Binjai dengan mobilnya, mengumumkan kemerdekaan Republik.
20 Maret 1946. Waktu itu sudah lewat tengah malam. Kokok ayam sayup di ujung kampung. Selebihnya, derik jengkerik. Gemersak rumput dan semak yang terinjak. Seberkas angin menggigil, menyisir alang-alang dan rumpun pisang. Lalu bayang-bayang samar tubuh-tubuh yang berjalan terhuyung, tersaruk menuju kegelapan. Ada yang mengerang. Ada yang menghardik. Terdengar desis pedang. Mengilukan. Dan suara nafas yang meregang.
Dengan dada kurus, kotor dan telanjang, tangan diikat, karung goni melilit pinggang, dan leher yang terbuka, Amir berjalan lemah ke tepi galian. Sekelebat diingatannya tangan kecil Tahura, putri semata wayang, tujuh tahun usia, melambai padanya, ketika laskar dengan jeep terbuka, membawanya pada sebuah petang yang tak jelas, dua pekan sebelumnya. “Biarkan saya bersembahyang..”, pintanya tenang. Lalu, setelah melafazkan doa untuk keselamatan istri dan anak tercinta, Amir pun dipancung, di tengah ladang semak yang sunyi. Oleh guru pencaknya sendiri.
Duhai tuan, bibirmu bergetar, matamu terbuka. Tak berkedip, menatap kilat pedang. Ya, engkau sendiri yang meminta. Hendak menyaksikan maut itu datang, ujarmu. Bagai ‘kandil kemerlap. Pelita jendela di malam gelap. Melambai pulang perlahan..’
Segera tubuhnya lunglai. Rebah. Terlentang menyusul jasad sejawat dan kerabat, menyesaki lobang dangkal, yang sebelumnya mereka gali dengan risau sambil membatinkan zikir. Kepala, dengan wajah pucat dan rambut kusutnya, terguling. Menggelinding. Suara cairan berdesir. Darah merah, memancar-mancar dari ulat leher yang menganga. Aroma tanah basah segera bercampur dengan bau amis. Suara ranting patah. Masih terdengar, beberapa kali, derak tulang ditebas pedang. Lenguh tenggorokan yang disembelih. Seruan dan teriakan. Pekik burung malam di kejauhan. Lalu suara mesin dinyalakan, deru truk, menjauh dan menghilang. Lalu sunyi. Langit bersih dan terang. Baru saja reda rinai hujan. Dingin udara mengiris tulang. Ada halimun yang turun, seperti kelambu, di seberang rumpun pisang. Dedaunan berkilau karena cahaya ribuan bintang.
PadaMu jua! PadaMu jua! PadaMu..
Bertahun-tahun kau di situ. Dilamun bisu. Terbenam diam. Terkubur sepi. Tak ada yang tahu, kecuali para penjagal dimalam jahanam itu. Terbenam di bawah akar semak belukar. Rumput liar. Lumut dan pakis. Dalam sunyi yang seakan abadi. Seperti kau tulis:
Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus
Sampai engkau menjadi belulang.
Sahabat-sahabatmu di Jakarta, para sastrawan itu, Takdir, Sanusi, Armijn, Achdiat.. tentu saja amat kehilangan. Juga kawan seperjuanganmu, para aktivis politik di Jong Sumatranen Bond dan Indonesia Muda, Maria Ulfah, Gani.. Ilik Sundari juga.
Dan Tengku Kamaliah, isterimu, bertahun-tahun setelah ia menitipkan untukmu sehelai kain sarung, teluk belanga putih, al Quran kecil, dan nasi goreng di antara serantang makanan beberapa hari sesudah kau dibawa gerombolan laskar petang itu, pun tak henti berdoa. Tak pernah mau menerima kemungkinan bahwa kau telah tiada. Bertahun-tahun! Ia berharap menemukanmu, junjungan kasihnya. Bertahun-tahun, ia menunggu. Sampai penemuan belulang. Dan cincin perkawinanmu. Tiga setengah tahun berselang..
“Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu..”