52 Tahun Teater Nasional Medan, Masih ‘Akrab Kedalam Simpati Keluar’

oleh -1,758 views

TEATER NASIONAL MEDAN kini berusia 52 tahun (1962-2015). Bukan waktu yang singkat bagi sebuah grup kesenian seperti teater bisa bertahan. Dimasa tahun 60-an sampai 80-an teater yang disingkat TENA ini pernah berkibar. Mempunyai aktor-aktris yang diperthitungkan di Medan. Bila melakukan pementasan, maka berjubel penonton datang menyaksikan pementasan yang digarap Sori Siregar, Burhan Piliang (alm), D. Rifai Harahap, Buoy Hardjo atau sutradara generasi di tahun 2000-an ini.

(Alm) Burhan Piliang satu satu pendiri TENA (paling kiri)
(Alm) Burhan Piliang satu satu pendiri TENA (paling kiri)

Tepat 28 Oktober 1963, 52 tahun yang lalu lima anak muda berjuluk ‘Pandawa Lima’ yakni Burhan Piliang (alm), Mazwad Azham (alm), Iskak. S (alm), Rusli Mahadi dan Sori Siregar mendirikan Teater Nasional.

Kini, diusianya ke-52 tahun ini, Teater Nasional menggelar ‘Apresiasi Seni dan Pameran Foto Dokumentasi Tena’ di Ruang Pameran Taman Budaya Sumatera Utara pada, Selasa (3/11/2015). Tidak hanya itu, salah satu pendiri TENA Sori Siregar  dari Jakarta, yang dikenal sebagai budayawan,  terbang ke Medan hanya untuk menghadiri perayaan Ulang Tahun Teater Nasional ke-52.

“Ya. Saya akan ke Medan. Saya baru telpon panitianya di Medan,” kata sastrawan yang sempat menulis novel ‘Wanita Itu Adalah Ibu’, Senin (2/11/2015).

Sutradara  dan budayawan Sumatra Utara yang konsisten dibidangnya, D. Rifai Harahap pun mengatakan, bahwa TENA di tahun 70-an dan 80-an mempunyai penonton yang tetap. Sehingga kata sutradara yang dirinya pernah digarap Rizal Siregar dalam sebuah  film dokumenter bertajuk ‘D. Rifai Harahap Tokoh Teater Medan’ ini, tiap melakuan pementasan  TENA selalu direspon oleh masyarakat.

“Kenapa? Karena TENA membina penontonnya. Penonton itu ya harus dibina. Sekarang mereka (pekerja teater-red) sangat jarang membina penontonnya,” kata Bang Darwis sapaan akrabnya.

Meski dunai teater di Medan tersok-seok, namun TENA tetap ada. Sebab, untuk menggerakan organiasi teater sampai kepada sebuah pementsan dibutuhkan tidak saja pemikiran dan kerja keras, tetapi yang paling penting adalah dana.

“Beda sekali ketika awak mentas dulu disutradarai Bang Darwis dan kawan-kawan, kami tidak pamrih. Kami mentas bukan karena uang, tapi karena gagasan, kosep dan ingin berbuat sesuatu,” kata aktor Ayub Badrin yang berkutat di dunia teater sejak masih duduk di bangku SMP ini.

KONTRIBUSI

TENA termasuk punya kontribusi yang paling besar dalam melahirkan seniman dengan berbagai latar belakang di kota Medan. Tidak saja dunia panggung, tapi juga seni tari, seni rupa, sastra dan film. Banyak dari anak-anak TENA menjadi menjadi penulis dan wartawan, namun mereka tetap punya ikatan tali ‘silatuhrami’ yang kuat. Yakni dengan motto; ‘simpati ke dalam akrab keluar’.

Generasi muda TENA tahun 80-an (koleksi D. Rifai Harahap)
Generasi muda TENA tahun 80-an (Foto: koleksi D. Rifai Harahap)

Karya Taguan Hardjo berjudul ‘Garis Pisah’ merupakan pementasan pertama Tena tahun 1963. Dipentaskan di Balai Prajurit Jalan Rumah Bola Medan (Kini menjadi Gedung BCA, Jalan Bukit Barisan Medan). Dua tahun kemudian mementaskan naskah karya Ionesco berjudul ‘Raja Mati.’

Berikutnya tahun 1966 naskah berjudul ‘Jiwa Dari Tanah Air’ karya Emanuel Robles diadaptasi Djohan Arifin Nasution. Tahun 1968 ‘Rashomon’ karya seorang penulis besar Jepang. Tahun 1969 karya Djohan Arifin Nasution berjudul ‘Ma Ma Ma, Ba Ba Ba, Wa Wa Wa’ berlanjut dengan naskah berjudul ‘Sedetik Bersama Tuhan’ karya Z. Pangaduan Lubis dan ‘Rimba Cermin-Cermin’ juga karya Z. Pangaduan Lubis.

Berkat karya-karya yang dipentaskan Tena, tahun 1970 diundang tampil di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki Jakarta. Tena mementaskan naskah ‘Rashomon.’ Tahun 1971 naskah berjudul ‘Yang Di dalam’ karya Burhan Piliang dipentaskan di Gedung Kesenian Jalan Bali Medan dekat Titi Gantung.

Karya Arifin C. Noer berjudul ‘Kapai-Kapai’ tahun 1976, naskah ‘Mega-Mega’ karya Arifin C. Noer tahun 1977, naskah ‘Pencuri Kepincut’ hasil saduran Taguan Hardjo dari karya Moliere tahun 1977, naskah ‘Nafsu Di Bawah Pohon Elm’ hasil terjemahan Djohan A. Nasution dari karya George Bernard Show tahun 1978. Naskah “Dipenegoro” karya Taguan Hardjo tahun 1994, karya Ikranegara tahun 1988 berjudul ‘Tok Tok Tok,’ dan naskah ‘Setan Dalam Bahaya’ hasil terjemahan Ali Audah. (gr)